TUGAS MATA KULIAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN
Pembahasan :
Konflik nelayan kerap terjadi Indonesia. Pemicunya
bisa berbagai hal. Mulai dari masalah perbedaan cara pemanfaatan sumberdaya,
alat penangkapan ikan, hingga adat/kebiasaan. Pada Rabu, 24 Februari 2021,
Antara menulis tentang konflik nelayan di Bengkulu.
Dalam artikel itu disebutkan bahwa perselisihan
terjadi antara nelayan tradisional dan nelayan pukat harimau. Bahkan, tersirat
dalam tulisan tersebut jika permasalahan keduanya telah berlangsung sejak beberapa
tahun silam.
Seperti disampaikan Wahyudi et al. (2012) dalam jurnalnya yang membahas konflik nelayan di
Pantai Utara Jawa Timur, ada tujuh macam konflik nelayan. Salah satunya adalah
konflik cara produksi atau terkait alat penangkapan ikan. Ternyata hal itu juga
terjadi di Bengkulu. Oleh karenanya, untuk mengurai permasalahan yang ada, kita
bisa memetakan dari lima aspek. Yaitu Biologi, Ekologi, Ekonomi, Kelembagan, dan
Hukum.
Dari kacamata Biologi, sumberdaya perikanan
merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup kaya. Komoditas yang
tersedia mulai dari berbagai jenis ikan, udang, lobster, cumi-cumi, kepiting dan
sebagainya. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin
dalam artikel Ambari (2023)
menyebutkan bahwa laut Indonesia menjadi sumber asupan protein hewani yang
cukup besar bagi 200 juta orang. Melihat potensi tersebut, tak heran jika laut
menjadi tumpuan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Dari sudut pandang Ekologi, pengelolaan laut harus
berpedoman peraturan yang berlaku. Hal ini senada dengan Annisa et al. (2009) yang menyatakan bahwa sumberdaya perikanan di
Indonesia bersifat quasi open access,
dimana sumberdaya tidak dapat diakses secara penuh dan bebas karena adanya
peraturan yang membatasi. Sehingga, dalam pemanfaatannya harus dilakukan secara
efektif dan terukur. Tujuannya tak lain agar sumberdaya yang ada tetap terjaga
kelestariannya.
Dari sisi Ekonomi, sumberdaya ikan memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi. Bahkan, pada beberapa komoditas, nilai ekonomisnya
sangat tinggi. Sehingga akan menarik para nelayan untuk menangkapnya. Hal inilah
yang terkadang menimbulkan keserakahan pada pemanfaatannya. Jika sudah demikian,
yang muncul adalah egoisme dan mengesampingkan dampak lingkungan. Perilaku seperti
itu akan mempercepat deplesi pada sumberdaya perikanan.
Dari dimensi Kelembagaan, harus ada sinergi diantara
stakeholder terkait. Dalam hal penyelesaian konflik nelayan, setidaknya pemerintah
dan kelompok nelayan harus bergerak seirama. Dalam artikel tulisan Carminanda tersebut
disampaikan bahwa ada rencana pemberian bantuan berupa alat penangkapan yang
lebih ramah lingkungan. Pada praktiknya, pemerintah harus memberikan pelatihan
terkait teknik penggunaan alat tersebut secara berkala hingga nelayan mahir. Karena
tidak dapat dipungkiri, nelayan yang sudah terbiasa dengan alat lama, perlu
proses adaptasi dalam penggunaan alat baru. Kemudian dari sisi nelayan, mereka
juga harus memiliki komitmen yang kuat untuk secara sadar menggunakan alat yang
ramah lingkungan.
Dari perspektif Hukum, penegakan hukum harus
dilakukan secara adil dan proporsional. Sehingga akan tercermin kesadaran hukum. Dalam jurnal Hehanusa (2019) disebutkan bahwa salah satu faktor untuk
memperkuat kesadaran hukum masyarakat adalah perilaku penegak hukum. Untuk itu,
penanganan dan penindakan kasus secara professional akan mendorong masyarakat semakin
taat hukum.
Kesimpulan dan Rekomendasi :
Konflik yang terjadi pada nelayan di Bengkulu
merupakan konflik terkait cara produksi atau penggunaan alat pernangkapan ikan.
Perbedaan alat tersebut menimbulkan gesekan saat mencari ikan dilaut dan berlanjut
pada perselisihan antar kelompok di darat.
Hendaknya dalam penyelesaian konflik bisa
melibatakan berbagai pihak yang dekat secara sosiologis dengan para nelayan. Misalnya
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan juragan. Harapannya, para pihak tersebut
dapat lebih mudah masuk karena adanya kedekatan psikologis. Sehingga, masing-masing
yang berkonflik bisa saling menahan diri dan perselisihan dapat diredam.
Alam ini adalah titipan para generasi mendatang yang
harus kita jaga. Sehingga, saat anak-cucu kita menerima tongkat estafet
pengelolaan, sumberdayanya masih tetap lesatari dan dapat dimanfaatkan dengan
baik. Kita tentu tidak ingin menjadi bagian yang turut andil merusak alam milik
anak-cucu kita. Akan sangat memilukan sekali ketika ada sumberdaya alam yang
musnah, dan kita menjadi bagian dari sejarah kemusnahan itu.
Terimakasih.
Referensi :
Ambari, M. (2023). Hari Laut Sedunia : Ancaman
Kerusakan Laut Semakin Sulit Dihindari.
https://www.mongabay.co.id/2023/06/13/hari-laut-sedunia-ancaman-kerusakan-laut-semakin-sulit-dihindari/?authuser=0
Annisa,
L., Satria, A., & Kinseng, R. A. (2009). Konflik Nelayan Di Jawa Timur : Solidarity:
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, Dan Ekologi Manusia, 03(01),
113–124.
Hehanusa,
M. (2019). Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Hukum Masyarakat Menjadi Saksi
Tindak Pidana. Jurnal Hukum Yurisprudensia, 17(2), 105–114.
http://publikasi.undana.ac.id/index.php/jhy/article/view/y129/71
Wahyudi,
I., Muzni, A. I., & Suryanto. (2012). Model Pengembangan Resolusi Konflik
Nelayan Pantai Utara Jawa Timur. Jurnal Psikosains, 4(2), 55–78.
Komentar
Posting Komentar