TUGAS MATA KULIAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN

NAMA : DADANG AGUNG SETIYAWAN
NIM : 230361100003
Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam
Universitas Trunojoyo Madura

Sumber artikel :
Judul        : Mencari Solusi Konflik Nelayan di Bengkulu
Penulis    : Carminanda
Terbit       : Rabu, 24 Februari 2021, 12:47 WIB
Penerbit   : Kantor Berita ANTARA
Website    : https://www.antaranews.com/berita/2015184/mencari-solusi-konflik-nelayan-di-bengkulu


Pembahasan :

Konflik nelayan kerap terjadi Indonesia. Pemicunya bisa berbagai hal. Mulai dari masalah perbedaan cara pemanfaatan sumberdaya, alat penangkapan ikan, hingga adat/kebiasaan. Pada Rabu, 24 Februari 2021, Antara menulis tentang konflik nelayan di Bengkulu.

Dalam artikel itu disebutkan bahwa perselisihan terjadi antara nelayan tradisional dan nelayan pukat harimau. Bahkan, tersirat dalam tulisan tersebut jika permasalahan keduanya telah berlangsung sejak beberapa tahun silam.

Seperti disampaikan Wahyudi et al. (2012) dalam jurnalnya yang membahas konflik nelayan di Pantai Utara Jawa Timur, ada tujuh macam konflik nelayan. Salah satunya adalah konflik cara produksi atau terkait alat penangkapan ikan. Ternyata hal itu juga terjadi di Bengkulu. Oleh karenanya, untuk mengurai permasalahan yang ada, kita bisa memetakan dari lima aspek. Yaitu Biologi, Ekologi, Ekonomi, Kelembagan, dan Hukum.

Dari kacamata Biologi, sumberdaya perikanan merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup kaya. Komoditas yang tersedia mulai dari berbagai jenis ikan, udang, lobster, cumi-cumi, kepiting dan sebagainya. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin dalam artikel Ambari (2023) menyebutkan bahwa laut Indonesia menjadi sumber asupan protein hewani yang cukup besar bagi 200 juta orang. Melihat potensi tersebut, tak heran jika laut menjadi tumpuan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Dari sudut pandang Ekologi, pengelolaan laut harus berpedoman peraturan yang berlaku. Hal ini senada dengan Annisa et al. (2009) yang menyatakan bahwa sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat quasi open access, dimana sumberdaya tidak dapat diakses secara penuh dan bebas karena adanya peraturan yang membatasi. Sehingga, dalam pemanfaatannya harus dilakukan secara efektif dan terukur. Tujuannya tak lain agar sumberdaya yang ada tetap terjaga kelestariannya.

Dari sisi Ekonomi, sumberdaya ikan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Bahkan, pada beberapa komoditas, nilai ekonomisnya sangat tinggi. Sehingga akan menarik para nelayan untuk menangkapnya. Hal inilah yang terkadang menimbulkan keserakahan pada pemanfaatannya. Jika sudah demikian, yang muncul adalah egoisme dan mengesampingkan dampak lingkungan. Perilaku seperti itu akan mempercepat deplesi pada sumberdaya perikanan.

Dari dimensi Kelembagaan, harus ada sinergi diantara stakeholder terkait. Dalam hal penyelesaian konflik nelayan, setidaknya pemerintah dan kelompok nelayan harus bergerak seirama. Dalam artikel tulisan Carminanda tersebut disampaikan bahwa ada rencana pemberian bantuan berupa alat penangkapan yang lebih ramah lingkungan. Pada praktiknya, pemerintah harus memberikan pelatihan terkait teknik penggunaan alat tersebut secara berkala hingga nelayan mahir. Karena tidak dapat dipungkiri, nelayan yang sudah terbiasa dengan alat lama, perlu proses adaptasi dalam penggunaan alat baru. Kemudian dari sisi nelayan, mereka juga harus memiliki komitmen yang kuat untuk secara sadar menggunakan alat yang ramah lingkungan.

Dari perspektif Hukum, penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan proporsional. Sehingga akan tercermin kesadaran hukum. Dalam jurnal Hehanusa (2019) disebutkan bahwa salah satu faktor untuk memperkuat kesadaran hukum masyarakat adalah perilaku penegak hukum. Untuk itu, penanganan dan penindakan kasus secara professional akan mendorong masyarakat semakin taat hukum.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi :

Konflik yang terjadi pada nelayan di Bengkulu merupakan konflik terkait cara produksi atau penggunaan alat pernangkapan ikan. Perbedaan alat tersebut menimbulkan gesekan saat mencari ikan dilaut dan berlanjut pada perselisihan antar kelompok di darat.

Hendaknya dalam penyelesaian konflik bisa melibatakan berbagai pihak yang dekat secara sosiologis dengan para nelayan. Misalnya tokoh masyarakat, tokoh agama, dan juragan. Harapannya, para pihak tersebut dapat lebih mudah masuk karena adanya kedekatan psikologis. Sehingga, masing-masing yang berkonflik bisa saling menahan diri dan perselisihan dapat diredam.

Alam ini adalah titipan para generasi mendatang yang harus kita jaga. Sehingga, saat anak-cucu kita menerima tongkat estafet pengelolaan, sumberdayanya masih tetap lesatari dan dapat dimanfaatkan dengan baik. Kita tentu tidak ingin menjadi bagian yang turut andil merusak alam milik anak-cucu kita. Akan sangat memilukan sekali ketika ada sumberdaya alam yang musnah, dan kita menjadi bagian dari sejarah kemusnahan itu.

 

Terimakasih.

 

Referensi :

Ambari, M. (2023). Hari Laut Sedunia : Ancaman Kerusakan Laut Semakin Sulit Dihindari. https://www.mongabay.co.id/2023/06/13/hari-laut-sedunia-ancaman-kerusakan-laut-semakin-sulit-dihindari/?authuser=0

Annisa, L., Satria, A., & Kinseng, R. A. (2009). Konflik Nelayan Di Jawa Timur : Solidarity: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, Dan Ekologi Manusia, 03(01), 113–124.

Hehanusa, M. (2019). Faktor Penyebab Rendahnya Kesadaran Hukum Masyarakat Menjadi Saksi Tindak Pidana. Jurnal Hukum Yurisprudensia, 17(2), 105–114. http://publikasi.undana.ac.id/index.php/jhy/article/view/y129/71

Wahyudi, I., Muzni, A. I., & Suryanto. (2012). Model Pengembangan Resolusi Konflik Nelayan Pantai Utara Jawa Timur. Jurnal Psikosains, 4(2), 55–78.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Brantas